Bukber
Belakangan ini di media sosial sering muncul unggahan sinis tentang bukber hanyalah kedok untuk adu outfit, ajang show off pencapaian, flexing anu flexing inu. Ditambah dengan drama pra bukber seperti minta dijemput padahal rumahnya tidak searah, minta nebeng tapi nggak mau patungan bensin, udah nebeng tapi ngatur kendaraan mana yang harus dipake, pinjem HP orang biar nggak malu di tongkrongan, dll. Saat bukber hanya sibuk foto-foto lalu kembali fokus ke ponsel masing-masing. Tidak ada interaksi nyata dengan orang-orang di depan mereka. Foto-foto yang kemudian diunggah dengan caption bertema kebersamaan pun dinilai sebagai pencitraan, semua demi konten. Hanya agar dilihat orang lain bahwa mereka memiliki teman dan memiliki kegiatan. Yang tidak kalah penting drama pasca bukber: hutang makan minum selama bukber belum dibayar!
Lalu, ramai-ramai orang mengamini kalau semua stereotip itu benar.
Sedih.
Apakah anak-anak jaman sekarang pertemanannya sepalsu itu? Apakah benar anak-anak jaman sekarang lebih peduli pada kesan orang lain di media sosial dibandingkan perasaan mereka sendiri?
Atau ini hanya perasaan segelintir manusia yang memang lebih suka menyendiri atau mereka yang takut menghadapi kehidupan nyata?
Bukber yang aku ikuti itu, ya, bukber saja. Kami bertemu, bercerita tentang kehidupan selama kami berpisah, berbagi kisah lucu, foto-foto. Ada juga bukber yang sebelumnya kami dahului dengan kegiatan sosial seperti bagi-bagi takjil di jalanan. Setelah itu pergi ke masjid terdekat untuk sholat dan kemudian kami baru makan. Kadang reservasi dulu untuk tempat makannya, kadang langsung dateng saja kalau lokasinya di food court mall.
Pakaian, ya, baju kasual rapi dan wangi seperti yang biasa kami pakai. Ponsel, ya, ponsel yang biasa kami gunakan sehari-hari. Kendaraan? Kalau bukber dalam kota, ya, bawa motor. Kalo di luar kota aku naik kereta api atau bis lalu dijemput teman di stasiun atau terminal. Semenjak ada ojol aku lanjut naik ojol ke lokasi. Sementara teman lainnya menggunakan kendaraan masing-masing tapi tidak ada yang dengan sengaja memamerkan kunci mobil atau motor. Yang kami bahas adalah hal-hal ringan atau lucu, kadang menanyakan kabar pekerjaan tapi bukan yang bertujuan flexing. Makan minum pesan dan bayar sendiri. Bahkan teman-teman yang berbeda agama juga kadang ikutan dan sama sekali tidak ada masalah.
Selesai. Pulang. Dan itu seru-seru saja.
Intinya bukber itu kami gunakan sebagai momen berkumpul yang tidak bisa kami lakukan setiap hari. Isinya, ya, having fun. Kalau bisa sekalian melakukan kegiatan sosial, ya, alhamdulillah banget. Kalau tidak juga tidak masalah. Kenapa sekarang makna bukber bergeser sedemikian mengerikan, ya?
Foto ini diambil saat rapat berkedok bukber dua hari lalu bersama teman-teman MGMP.
Komentar
Posting Komentar